Rabu, 28 Mei 2014

ETIKA BERKOMUNIKASI DENGAN TENAGA KESEHATAN LAIN



ETIKA BERKOMUNIKASI
DENGAN TENAGA KESEHATAN LAIN


Kata pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada alloh SWT atas berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan  tugas makalah mata kuliyah pengembangan kepribadian. Dalam makalah ini kami menerangkan tentang bagaimana etika dalam berkomunikasi, karna kami selaku mahasiswa harus mengerti dan tahu tata cara berkomunikasi yang baik dengan  masyarakat.
            Karna itu kami selaku manusia biasa mempunyai banyak kekurangan, kami berharap kritik dan saran yang membangun  bagi para pembaca bisa memberi kami wawasan baru dan bisa memberi motivasi agar kami kedepannya bisa lebih baik. Semoga makalah ini bisa bermanfaat ,dan kami minta maaf jika ada kekurangan dan kesalahan pada penulisan makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

                                                                                                                       
Surabaya, 14 April 2014



Penyusun


           



i
Daftar isi
Daftar isi.............................................................................................................................    i
Kata pengantar....................................................................................................................    ii
BAB I ( Pendahuluan )
A. Latar belakang ..................................................................................................    1
B. Trend dan Issue yang Terjadi ...........................................................................     2
BAB II ( Pembahasan )                                                                                                         
1.1  Pemahaman kolaborasi……………………………………………………..       4
1.2  Anggota Tim interdisiplin………………………………………………….       5
 1.3  Kode etik keperawatan Indonesia…………………………………………      11
BAB III ( Penutup )…………………………………………………………………….      14   Daftar pustaka …………………………………………………………………………        15








ii


BAB I
Pendahuluan
A.   Latar belakang
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat.
Namun demikian kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan  apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA), 1994,  setelah melalui diskusi dan negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat,  mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat. (www.nursingword.org/readroom,) 

Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik bagi  pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan  dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter.  Tentunya ada konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat  terwujud jika individu yang terlibat  merasa dihargai serta  terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien. Pertanyaannya apakah kolaborasi dokter dan perawat telah terjadi  dengan  semestinya? 
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh mengenai trend dan issue mengenai pelaksanaan kolaborasi perawat-dokter, mengingat bahwa kerjasama antara dokter-perawat merupakan salah satu faktor sangat penting untuk mencapai  keberhasilan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien.
B.   Trend dan Issue yang Terjadi
Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam memandang pasien, dalam  prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan
teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologis keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 rumah sakit melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berdampak langsung pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg, 2003).
Terdapat hubungan korelasi positif antara kualitas hubungan dokter-perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. \
Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih medukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.
Dari hasil observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik,  sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang meliputi proses keperawatan tidak ada.
Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter  yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat  sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung
Isu-isu tersebut  jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.




BAB II
Pembahasan
        1.1 Pemahaman kolaborasi
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien.
Mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi,
Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert,  2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan.
Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

        1.2 Anggota Tim interdisiplin
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik.
Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan kordinasi. seperti skema di bawah ini.
·         Autonomy
Autonomi berasal dari bahasa latin, yaitu autos, yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti aturan. Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. Contoh tindakan yang tidak memperhatikan memperhatikan otonomi adalah:
a)          Melakukan sesuatu bagi klien tanpa mereka doberi tahu sebelumnya
b)         Melakukan sesuatu tanpa memberi informasi relevan yang penting diketahui klien dalam      membuat suatu pilihan.
c)          Memberitahukan klien bahwa keadaanya baik, padahal terdapat gangguan atau penyimpangan.
d)         Tidak memberikan informasi yang lengakap walaupun klien menghendaki informasi tersebut.
e)          Memaksa klien memberi informasi tentang hal – hal yang mereka sudah tidak bersedia menjelaskannya.

·         Responsibility
·         Cooperation
·         Communication
·         Coordination
·         Common purpose
·         Mutuality
·         Assertiveness
Asertif  adalah dari perkataan Inggeris 'assertive', yang diberi makna dalam kamus English-Melayu Dewan Bahasa dan Pustaka adalah sebagai "menyatakan, menegaskan atau menuntut". Sementara Webster's Third International Dictionary memberi penerangan "assert" bermakna "to state or affirm positively, assuredly, plainly or strongly."
Dalam perbincang kaunseling kelakuan asertif ialah "kita melahirkan perasaan dan tindakan kita secara jujur, berterus terang dan ikhlas tanpa mencabuli batas-batas hak orang lain. Dengan ertikata , kita menghurmati diri kita dan dalam masa yang sama kita menghurmati diri orang lain. Kita bertindak dalam sempadan hak kepunyaan kita, kita mengawal diri kita dan tidak membenarkan orang lain mengawal diri kita. Kita tidak campur tangan dalam sempadan hak orang lain.
Ini bermakna, berkelakuan asertif adalah kita yang mengawal hidup diri kita sendiri serta tidak pula mengawal hak mutlak orang lain.
Dalam hidup bermasyarakat masalah perhubungan dan konflik tidak dapat dielakkan . Dalam rumahtangga, tempat kerja, dipejabat , disekolah malah ditempat ibadat pun masih wujud masalah perhubungan. Kepelbagaian kelakuan dan perbezaan kelakuan ini tidak seharusnya mempengaruhi kita mengikut jejak orang lain terutama kelakuan pasif dan agresif.
Gangguan emosi boleh wujud dengan segera disebabkan daripada masalah perhubungan. Perhubungan suami isteri boleh bertukar kepada perselisihan, perhubungan persahabatan boleh bertukar kepada permusuhan begitu juga perhubungan ibubapa dengan anak remaja ataupun anak menantu.
Mudah-mudahan dengan bersikap asertif, memperkatakan sesuatu secara berpatutan, bertindak secara menghurmati orang lain, dapat mewujudkan perhubungan yang tulin dan harmoni dikalangan sesama kita. Sekurang-kurangnya kita menyedari bahawa kita adalah hamba Allah yang dijadikan untuk mengabdikan diri kepadaNya, dengan menyedari bahawa kita mempunyai beberapa kekurangan dan hidup dimuka bumi ini sebagai "sharing" atau perkongsian sesama kita.
Untuk menjadi asertif , maka perlunya kita mempunyai kemahiran asertif dan pengetahuan mengenai dengannya untuk membantu kita bersikap asertif.

·         Efective collaboration
·         Elemen kunci efektifitas kolaborasi
Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.
Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab. 
 Hensen  menyarankan  konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis  antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota.
Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya,  kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan diteka dan koordinasi tidak akan terjadi.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk  mencapai tujuan kolaborasi team :
1.      Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional.
2.      Produktivitas  maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
3.      Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
4.      Meningkatnya kohesifitas antar profesional 
5.       Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional.
6.      Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas,  dan menghargai dan memahami orang lain.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan.
Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan. (www. kompas.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007)
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat.
Pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokter-perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien.
Dokter dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala  untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan diantara  anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat
 1.3 Kode etik keperawatan Indonesia :
1.      Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat

a.       Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman kepada tanggungjawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan keperawatan, individu, keluarga dan masyarakat.
b.       Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya di bidang keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat-istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
c.        Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu, keluarga dan masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.Tanggungjawab terhadap tugas
d.      Perawat senantiasa menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan khususnya serta upaya kesejahteraan umum sebagai bagian dari tugas kewajiban bagi kepentingan masyarakat.

2.      Tanggungjawab terhadap tugas

a.       Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat.
b.      Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
c.       Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
d.      Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
e.       Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalihtugaskan tanggungjawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.

3.      Tanggungjawab terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya

a.       Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara kerahasiaan suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
b.      Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.

4.      Tanggungjawab terhadap profesi keperawatan

a.       Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan profesional secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan.
b.      Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat pribadi yang luhur.
c.       Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam kegiatan dan pendidikan keperawatan.
d.      Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.

5.      Tanggungjawab terhadap pemerintah, bangsa dan Negara

a.       Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang diharuskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
b.      Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.














BAB III
Penutup
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas. 










DAFTAR PUSTAKA
Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating for Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA
Dochterman , Joanne McCloskey PhD, RN, FAAN. 2001 Current Issue in Nursing. 6th Editian . Mosby Inc.USA
Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa Indraty Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang Dewasa dan Lansia, EGC. Jakarta
www. Nursingworld. 1998.: Collaborations and Independent Practice: Ongoing Issues for Nursing. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007
www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi Mitra Dokter.  Diakses pada tanggal 20 Maret 2007
www.pikiran-rakyat.com/cetak. 2002 : Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007
www. nursingworld. Sieckert. 2005 Nursing – Physician workplace Collaboration. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007
www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007
www. Nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaboration. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007