BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia
mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui
proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan
merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau diperlukan untuk
menjaga homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat,
psikologis, dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari
berbagai segi. Orang pertama yang menguraikan kebutuhan manusia adalah
Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika
mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan
istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow
(Wolf, Lu Verne,dkk , 1984).
Suatu
hal yang sangat diperlukan tubuh dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan perkembangan adalah nutrisi yang adekuat.
Pemenuhan kebutuhan nutrisi akan sangat membantu seseorang untuk mempertahankan
kondisi tubuh dalam mencegah terjadinya suatu penyakit, mempertahankan suhu
tubuh dalam kondisi yang normal serta menghindari proses infeksi.
Nutrient
adalah suatu zat yang terkandung dalam makanan misalnya karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, mineral dan air. Nutrient atau kandungan zat yang terdapat
dalam makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terdiri dari 6 kategori, yaitu
: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Nutrisi normal
meliputi keseimbangan antara intake makanan yang di makan dengan energi yang
dikeluarkan oleh tubuh. Intake makanan yang adekuat juga dibutuhkan oleh enzim
untuk mensintesa hormon, mengganti sel-sel yang telah rusak serta membantu pertumbuhan dan perbaikan
jaringan. Intake nutrisi yang adekuat pada usia toddler dan pra sekolah ( 1–5
tahun ) sangat diperlukan, karena pada usia tersebut merupakan fase pertumbuhan
fisik dan perkembangan yang pesat, sehingga kebutuhan nutrisi juga akan berbeda
dengan usia-usia yang lain. Disamping itu pada fase ini, anak akan cenderung
aktif dan merasa kehilangan nafsu makan karena rasa suka dan tidak suka
terhadap suatu makanan . Sehingga peran orang tua untuk mempertahankan
pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia toddler maupun pra sekolah sangat diperlukan untuk membantu
proses pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan pada usia ini termasuk diantaranya adalah zat besi untuk mencegah
anemi, serta vitamin A dan C untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap suatu
penyakit. Kemampuan untuk mengabsorbsi
makanam, keadaan fisik seperti peradangan pada sistem gastro intestinal,
obstruksi pada gastro intestinal dan malabsorbsi serta diabetes melitus akan
menyebabkan gangguan dalam mengabsorbsi zat-zat makanan, sehingga juga akan
menyebabkan gangguan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.
Eliminasi
fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme tubuh yang tidak
terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk
fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada
gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus adalah
racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari
sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi
jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air dan 25% materi padat.
Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin yang
berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteri Escherecia coli. Flatus yang dikelurkan
orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 liter flatus dalam usus besar. Kerja
mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan
beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al., 2009).
Inkontinensia
fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien
geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan
pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri
menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga
mengalami inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat
mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya
dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian
inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula
peningkatan angka kejadian inkontinensiafekal. Untuk itu diperlukan penanganan
yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar
tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai inkontinensia fekal
dan penanganannya.
1.1
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana definisi dari penyakit inkontinensia
fekal?
2.
Bagaimana etiologi dari penyakit inkontinensia
fekal?
3.
Bagaimana patofisiologi dari penyakit
inkontinensia fekal?
4.
Bagaimana klasifikasi dari penyakit
inkontinensia fekal?
5.
Bagaimana gambaran Klinis dari penyakit
inkontinensia fekal?
6.
Apa saja factor yang mempengaruhi proses
defekasi?
7.
Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit
inkontinensia fekal?
8.
Bagaimana pemeriksaan fisik dari penyakit inkontinensia
fekal?
9.
Bagaimana pemeriksaan diagnostic dari penyakit
inkontinensia fekal?
10.
Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit
inkontinensia fekal?
11.
Bagaimana WOC dari penyakit inkontinensia
fekal?
12.
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan
inkontinensia fekal?
1.2
Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan
memahami bagaimana membuat asuhan keperawatan “Inkontinensia fekal”
1.3.2
Tujuan Khusus
1.
Mengetahui definisi dari penyakit inkontinensia
fekal?
2.
Mengetahui etiologi dari penyakit inkontinensia
fekal?
3.
Mengetahui patofisiologi dari penyakit
inkontinensia fekal?
4.
Mengetahui klasifikasi dari penyakit
inkontinensia fekal?
5.
Mengetahui gambaran Klinis dari penyakit
inkontinensia fekal?
6.
Mengetahui factor yang mempengaruhi proses
defekasi?
7.
Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit
inkontinensia fekal?
8.
Mengetahui pemeriksaan fisik dari penyakit
inkontinensia fekal?
9.
Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit
inkontinensia fekal?
10.
Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit
inkontinensia fekal?
11.
Mengetahui WOC dari penyakit inkontinensia
fekal?
12.
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien
dengan inkontinensia fekal?
1.4
Manfaat
1.
Memperoleh pengetahuan tentang konsep dari
penyakit inkontinensia fekal.
2.
Memperoleh pengetahuan dan dapat melakukan
asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit inkontinensia fekal.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian
Sistem
digestive merupakan organ gastrointestinal yang terdiri dari mulut, faring,
esofagus, lambung, usus halus, usus besar.
1.
Mulut merupakan suatu membran mukosa yang terdiri
dari pipi (berfungsi sebagai otot pengunyah), lidah, dan kelenjar saliva (yang
berfungsi memudahkan makaan untuk dikunyah gigi).
2.
Faring merupakan tuba fibromuskular yang melekat pada
dasar tulang tengkorak, berfungsi membawa makanan melewati orofaring dan laring
menuju esofagus.
3.
Esofagus adalah tube muskular yang bertujuan membawa
makanan ke lambung.
4.
Lambung bertindak sebagai “gerobak” makanan dalam
kantung dan mlepaskan makanan tersebut secara bertahap ke dalam usus
5.
Usus halus adalah bagian saluran pencernaan diantara
lambung dan usus besar, yang bertujuan mensekresi cairan usus, menerima cairan
empedu dan pankreas, mencerna makanan, serta mengabsorbsi air, garam dan
vitamin.
6.
Usus besar berfungsi mengabsorbsi air, natrium dan klorida
serta mensekresi kalium.
Organ tambahan yang terdapat dalam sistem
digestive namun keluar dari sistem gastrointestinal adalah pankreas. Sistem
tubuh yang berperan dalam eliminasi fekal (buang air besar) adalah
gastrointestinal bawah yang meliputi usus halus dan usus bear. Usus halus
terdiri atas duodenum,jejunum dan ileum dengan panjang kurang lebih 6 meter dan diameter 2,5cm serta
berfungsi sebagai rearbsorsi elektrolit Na, Cl, K, Mg, HCO, dan kalsium.usus
besar dimulai dari rektum, kolon hingga anus yang memiliki panjang kurang
lebih1,5 meter, 50-60 inci denan diameter 6 cm. Batasan antara usus besar dan
usus halus adalah katup ileocaecal. Katup ini biasanya nmencegan zat yang masuk
ke usus besar sebelum waktunya dan mencegah produk buangan untuk kembali ke
usus halu.produk buangan yang memasuki usus besar adalah berupa cairan.setiap
hari salutan anus menyarap sekitar 800-1000 ml cairan. Penyerapan inilah yang
mempengaruhi fesef berbentuk dan berwujud setengah padat. Jika penyerapan tidak
baik, produk buangan cepatmelalui usus besar feses akan lunak dan bercair, Jika
feses terlalu lama dalam usus besa, maka akan terlalu banyak air yang diserap
sehingga feses menjadi kering dan keras. Kolon sigmoid mengandung feses yang
sudah siap untuk dibuang dan diteruskan kedalam rektum. Panjang rektum adalah
12cm (5 inci) , 25cm (1 inci) merupakan saluran anus. Gerakan peristaltik yang
kuat dapat mendorong feses kedepan. Gerakan ini terjadi 1-4 kali dalam 24 jam
dan terjadi sesudah makan. Makanan yang diterima oleh usus dari lambung dalam
bentuk setengah padat atau dikenal dengan nama chyme, baik berupa air, nutrien,
maupun elektrolit kemudian akan diabsorbsi.usus akan mensekresi mukus, kalium, karbonat,
dan enzim. Secara umum kolon berfungsi sebagai tempat rearbsorbsi, proteksi, sekresi,
dan eliminasi. Proses perjalanan makanan dari mulut hingga rektum membutuhkan
waktu selama 12 jam. Otot lingkar (sfingter) bagian dalam dan luar saluran anus
menguasai pembyangan feses dan gas dari anus. Rangsangan motorik disalurkan
oleh sistem simpatis dan rangsangan penghalang oleh sistem parasimpatis, bagian
dari sisten saraf otonom ini memiliki sistem kerja yang belawanan dalam keseimbangan yang dinamis. Sfingter
luar anus merupakan otot bergaris yang berada dibawah penguasaan parasimpatis,baik diwaktu sakit
maupun sehat.
Defekasi adalah proses pengosongan usus yang
sering disebut dengan buang air besa.terdapat dua pusat yang menguasai refleks
untuk defekasi, yaitu terletak di medula dan sumsum tulang belakang. Bila
terjadi rangsangan paraimpatis, sfingter asun bagian dalam akan mengendur dan
usus besar akan menguncup. Refleks defekasi
dirangsang untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar
diawasi oleh sistem saraf parasimpatis mengendur dan menguncup saat defekasi. Feses
terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat
makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam
mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu dan cairan tubuh. Secara
umum terdapat dua macam refleks dalam membantu proses defekasi yaitu rileks
defekasi intrinsik yang dimulai dengan adanya zat sisa makanan (rektum) dalam rektum
sehungga terjadi distensi. Kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan
peristaltik dan akhirnya feses sampai dianus.
Inkotinensia fekal adalah
Perubahan kebiasaan defekasi dari pola normal dengan karakteristik pengeluaran
feses secara involunter. (Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R). Inkotinensia
fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan mengeluarkan
tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat diklasifikasikan
menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas dan
diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat).
Klasifikasi lain membagi inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan
inkontinensia mayor. Inkontinensia mayor adalah keadaan tidak
dapat mengontrol membentuk konsistensi tinja yang normal. Sedangkan inkontinensia
minor adalah soilling
sebagian atau keadaan dimana sewaktu-waktu dapat mengeluarkan tinja secara
normal dan tepat atau dapat diartikan sebagai bentuk tinja yang encer/cair.
Inkontinensia fekal merupakan salah satu
masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian
inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia
urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien
geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi.
Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya,
sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan
baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak
menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia
fekal. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia
urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih
sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan
dibahas mengenai inkontinensia fekal dan penanganannya.
2.2 Etiologi
Penyebab
utama timbulnya inkotinensia fekal adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar
yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Konstipasi
atau sembelit merupakan kejadian yang paling sering timbul pada pasien geriatri
dan bila menjadi kronik akan menyebabkan timbulnya inkontinensia fekal. Skibala
akan mengiritasi rektum dan menghasilkan mukus dan cairan. Cairan ini akan
membanjiri tinja yang mengeras dan mempercepat terjadinya inkontinensia.
Konstipasi sulit untuk didefinisikan dan secara teknik biasanya diindentikkan
dengan buang air besar sebanyak tiga kali dalam seminggu.
Penyebab
inkontinensia fekal dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst dkk, 1987;
Kane dkk, 1989) :
1.
Inkontinensia fekal akibat konstipasi.
2.
Inkontinensia fekal simtomatik, yang berkaitan
dengan penyakit pada usus besar.
3.
Inkontinensia fekal akibat gangguan kontrol
persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik).
4.
Inkontinensia fekal karena hilangnya refleks
anal.
2.3 Patofisiologi
Fungsi
traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun
demikian beberapa orang mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang
melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien. Selain itu, sfingter gastroesofagus
gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.keluhan utama
biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan.
Motalitas gaster juga mnurun, akibatnya terjadi keterlambtan pengosongan isi
lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium
dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat di pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia fekal.
Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat di pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia fekal.
2.4 Klasifikasi Inkontinensia Fekal
1.
Inkontinensia fekal akibat konstipasi
Konstipasi merupakan
keadaan individu yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami statis usus
besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, atau keluarnya
tinja terlalu kering dan keras.
Tanda Klinis :
a.
Adanya feses yang keras
b.
Defekasi kurang dari 3x
seminggu
c.
Menurunnya bising usus
d.
Adanya keluhan pada rektum
e.
Nyeri saat mengejan dan
defekasi
f.
Adanya perasaan masih ada
sisa feses.
Kemungkinan Penyebab :
a.
Defek persarafan,
kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera serebrosspinalis,CVA, dll.
b.
Pola defekasi tidak
teratur.
c.
Nyeri saat defekasi karena
hemoroid.
d.
Menurunnya peristaltik
karena stres psikologis.
e.
Penggunaan obat, seperti
penggunaan antasida, laksantiv, atau anastesi.
f.
Proses penuaan (usia
lanjut).
Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum
tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali
per minggu. Tetapi banyak penderita sudah mengeluhkan konstipasi bila ada
kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air
besar (Kane dkk, 1989). Konstipasi sering sekali dijumpai pada lanjut usia dan
merupakan penyebab yang paling utama pada inkontinensia fekal pada lanjut usia
(Brocklehurst dkk, 1987).
Obstipasi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari masa feses yang
keras (skibala). Masa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen
bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal.
Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau
feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar (Broklehurst dkk, 1987).
Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan
iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang
selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi
inkontinensia fekal (Kane dkk, 1989). Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, antara lain meraba adanya skibala pada colok dubur.
2. Inkontinensia fekal simtomatik
Inkontinensia fekal simtomatik dapat merupakan
penampilan klinis dari macam-macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan
diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan
bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap
feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan
flatus dan feses yang cair (Brocklehurst dkk, 1987).
Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan
inkontinensia fekal simtomatik ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis,
proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulceratif, karsinoma kolon/rektum. Penyebab
lain dari inkontinensia fekal simtomatik misalnya kelainan metabolik, contohnya
diabetes mellitus, kelainan endokrin seperti tiroksikosis, kerusakan sfingter
anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid yang kurang berhasil dan
prolapsus rekti.
Penyebab yang paling umum dari diare pada usia
lanjut usia adalah obat-obatan, antara
lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (Brocklehurst dkk,
1987; Robert-Thomson).
3.
Inkontinensia fekal neurogenik
Inkontinensia fekal neurogenik terjadi akibat
gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi
rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gastro-kolon. Beberapa
menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan
feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi rektum akan diikuti
relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi
kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada
inhibisi/hambatan dari pusat di korteks serebri (Brocklehurst dkk, 1987). Bila
buang air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda dengan inhibisi
yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut
usia dan terutama pada penderita dengan penyakit serebrovaskuler, kemampuan
untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.
Karakteristik inkontinensia neurogenik ini
tampak pada penderita dengan infark serebri multipel, atau penderita demensia.
Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah berbentuk
ditempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.
4. Inkontinensia
fekal akibat hilangnya refleks anal
Inkontinensia fekal ini terjadi akibat
hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Parks,
Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh Brocklehurst dkk,
1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot
daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks
anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat
berakibat inkontinensia fekal pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan
prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada
ahli proktologi untuk pengobatannya (Brocklehurst dkk, 1987).
5. Inkontinensia fekal akibat konstipasi kolonik
Konstipasi kolonin
merupakan keadaan individu yang mengalamai atau beresiko mengalami perlambatan
pasase residu makanan yang mengakibatkan feses kering dan keras.
Tanda Klinis :
a.
Adanya penurunan frekuensi
eliminasi.
b.
Feses kering dan keras.
c.
Mengejan saat defekasi.
d.
Nyeri defekasi.
e.
Adanya distensi pada abdomen.
f.
Adanya tekanan pada rektum.
g.
Nyeri abdomen
Kemungkinan Penyebab :
a.
Deek persarafan, kelemahan
pelvis, imobilitas karena cidera serebrusspinalis, CVA dll.
b.
Pola defkasi yang tidak
teratur.
c.
Efek samping penggunaan
obat antasida, anastesi, laksantif dll.
d.
Menurunnya peristaltik
6. Inkontinensia fekal akibat konstipasi dirasakan
Konstipasi dirasakan merupakan keadaan individu dalam menentukan sendiri
penggunaan laksantif, enema, supositoria untuk memastikan defkasi setiap
harinya.
Tanda Klinis :
a.
Adanya penggunaan
laksansia setiap hari sebagai enema atau supositoria secara berlebihan.
b.
Adanya dugaan pengeluaran
feses pada waktu yang sama setiap hari.
Kemungkinan Penyebab :
a.
Persepsi salah akibat
depresi.
b.
Keyakinan budaya.
7. Inkontinensia fekal akibat diare
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau berisiko sering
mengalami penegluaran feses dalam bentuk cair,. Diare sering disertai dengan
kejang usus, mungkin disertai oleh rasa mual dan muntah.
Tanda Klinis :
a.
Adanya pengeluaran feses
cair.
b.
Frekuensi lebih dari 3
kali sehari.
c.
Nyeri/kram abdomen.
d.
Bising usus meningkat.
Kemungkinan Penyebab :
a.
Malabsorpsi atau
inflamasi, proses infeksi.
b.
Peningkatan peristaltik
karena peningkatan metabolisme.
c.
Efek tindakan pembedahan
usus.
d.
Efek penggunaan obat
seperti antasida, laksansia, antibiotik dll.
e.
Stres psikologis.
f.
Inkontinensia fekal akibat kembung
Kembung merupakan keadaan
penuh udara dalam perut karena pengumpulan gas secara berlebihan dalam lambung
atau usus.
9. Inkontinensia lavi akibat
hemorroid
Hemorroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus
sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena
konstipasi, peregangan saat defekasi dll.
10. Fecal Impaction
Fecal impaction merupakan masa feses di lipatan rektum yang diakibatkan
oleh retensi dan akumulasi materi feses yang berkepanjangan. Penyebab
konstipasi adalah asupan kurang, aktivitas kurang, diet rendah serat, dan
kelemahan tonus otot.
2.5 Gambaran
Klinis
Klinis
inkontinensia fekal tampak dalam dua keadaan:
1.
Feses yang cair atau belum berbentuk, sering
bahkan selalu keluar merembes.
2.
Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali
atau dua kali perhari, dipakaian atau ditempat tidur.
2.6 Faktor yang Memengaruhi Proses Defekasi
a.
Usia
Setiap tahun perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol defekasi yang
berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam buang air
besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki kemampuan mengontrol secara penuh,
dan pada usia lanjut proses pengontrolan tersebut mengalami penurunan.
b.
Diet
Diet atau pola jenis
makanan yang dikonsumsi dapat memengaruhi proses defekasi. Makanan yang
memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan dan jumlah
yang dikonsumsi pun dapat memengaruhinya.
c.
Asupan Cairan
Pemasukan cairan yang
kurangdalam tubuh membuat defekasi menjadi keras oleh karena proses absorpsi
kurang sehingga dapat memengaruhi kesulitan proses defekasi.
d.
Aktivitas
Aktivitas dapat
memengaruhi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma
dapat membantu kelancaran proses defekasi.
e.
Pengobatan
Pengobatan dapat
memengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan laksansia atau antasida yang
terlalu sering.
f.
Gaya Hidup
Hal ini dapat terlihat
pada seseorang yang memiliki gaya hidup sehat/kebiasaan melakukan buang air
besar di tempat yang bersih atau toilet.
g.
Penyakit
Biasanya penyakit-penyakit
yang berhubungan langsung sistem pencernaan, seperti gastrointeritis atau
penyakit infeksi lainnya.
h.
Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk berdefekasi, seperti
nyeri pada beberapa kasus hemoroid dan episiotomi.
i.
Kerusakan Sensoris dan
Motoris
Kerusakan pada sistem
sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses defekasi karena dapat menimbulkan
proses penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat
diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atauu kerusakan saraf lainnya.
2.7 Manifestasi Klinis
Secara klinis, inkontinensia fekal dapat tampak
sebagai feses yang cair atau belum berbentuk dan feses keluar yang sudah
berbentuk, sekali atau dua kali sehari dipakaian atau tempat tidur. Perbedaan penampilan klinis ini dapat
menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain inkontinensia fekal akibat
konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik (berkaitan dengan penyakit usus
besar), akibat gangguan saraf pada proses defekasi (neurogenik), dan akibat hilangnya refleks
pada anus.
2.8 Pemeriksaan Fisik
1.
Umum : tinggi badan, berat badan, gangguan
neuromuscular dan trauma medulla spinalis, adanya demansia atau gangguan saraf
lainya (strok, penyakit Parkinson).
2.
Lokal : meliputi pemeriksaan inspeksi dan
pemeriksaan rectum, pada inspeksi di lihat bagaimana kontraksi anus saat
dikerutkan, reflek kulit anus, dan sensasi dermatomlumbosaktral, pemeriksaan
rectum dapat mengetahui adanya kelemahan pada sfingter, tonus anus.
2.9 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan
anoskopi dan protosigmoidoskopi mungkin diperlukan pada kondisi tertentu.
2.10 Penatalaksanaan
Penanganan
yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat menghindari
kejadian inkontinensia fekal. Langkah utama dalam penanganan sembelit pada
pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya sembelit. Jika sembelit yang timbul pada pasien geriatri merupakan
suatu keluhan yang baru, maka kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh penyakit
kolon, gangguan endokrin dan metabolik, deperesi atau efek samping obat-obatan.
Untuk pencegahan
konstipasi, lansia sebaiknya mengkonsumsi diet yang cukup cairan dan serat.
Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram serat kasar sehari (hal ini bisa did
apatkan dari 3-4 sendok the biji-bijian). Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam
penanganan inkotinensia fekal adalah dengan mengatur waktu ke toilet,
meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan
buang air besar di toilet. Defekasi sebaiknya dilakukan ditempat yang khusus,
lingkungan yang tenang, dan pada saat timbulnya refleks gastrokolik yang
biasanya timbul lima menit setelah makan.
Pada
inkotinensia fekal yang disebabkan oleh
gangguan syaraf, terapi latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan,
meskipun sebagian besar pasien geriatrik dengan dimensia tidak dapat menjalani
terapi tersebut. Pada pasien dengan demensia tahap akhir dengan inkotinensia
fekal, program penjadwalan ke toilet dan penjadwalan penggunaan obat pencahar
secara teratur dapat dilakukan dan efektif untuk mengontrol defekasi. Usaha
terakhir yang dapat dilakukan dalam penanganan inkontinensia fekal pada pasien
ini adalah dengan menggunakan pampers yang
dapat mencegah dari komplikasi.
2.11 WOC
Konstipasi
|
Simtomatik
|
Usia
|
Hilangnya reflex anal
|
Kelemahan oto sfingter
|
Gangguan fungsi syaraf
|
Neurogenik
|
Iritasi rectum menghasilkan
cairan
|
Fungsi sfingter menurun
|
Inkontinensia
Fekal
|
Berkurangnya sensasi pada anus
|
Inkontinensia fekal
|
B6
(muskuloskeletal)
|
Kelemahan otot sfingter
|
B5
(pencernaan)
|
Iritasi rektum
|
Cairan membanjiri tinja
|
DK : Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan.
|
Inkontinensia fekal
|
B3 (persyarafan)
|
Penurunan fungsi syaraf
|
Korteks serebri terhambat
|
Korteks serebri terhambat
|
Regangan rektum
|
Cairan membanjiri tinja yang
mengeras
|
Berkurangnya sensasi pada anus
|
Regangan rektum
|
DK : Inkontinensia Fekal
|
DK : Kerusakan integritas kulit
|
Intoleransi
aktifitas
|
DK : Harga
diri rendah
|
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien :
a.
Nama : Suami / Istri / Orangtua
b.
Umur :
Nama :
c.
Jenis kelamin : Pekerjaan :
d.
Agama : Alamat :
e.
Suku/bangsa :
f.
Bahasa : Penanggung
jawab :
g.
Pendidikan : Nama :
h.
Pekerjaan : Alamat :
i.
Status :
j.
Alamat :
3.1.2
Keluhan utama
Keluhan yang sering muncul pada pasien
inkontinensia fekal adalah Menurunnya bising usus, Mual, Nyeri abdomen, Perubahan
konsistensi feses, frekuensi buang air besar, dll.
3.1.3
Riwayat Penyakit sekarang
Mengkaji perjalanan penyakit pasien saat ini
dari awal gejala muncul dan penanganan yang telah dilakukan hingga saat
dilakukan pengkajian.
3.1.4
Riwayat Penyakit dahulu
Perlu dikaji
apakah pasien mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan dengan
inkontinensi fekal. Seperti, Anemi,
Hipotiroidisme, Dialisa ginjal, Pembedahan abdomen., Paralisis, Cedera spinal
cord, Immobilisasi yang lama, dan lain-lain.
3.1.5
Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang
memiliki gejala penyakit yang sama seperti pasien.
3.1
Pola Fungsi Kesehatan :
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Persepsi klien/keluarga
terhadap konsep sehat sakit dan upaya klien/keluarga dalam bentuk pengetahuan,
sikap, dan perilaku yang menjadi gaya hidup klien/keluarga untuk mempertahankan
kondisi sehat.
2. Pola nutrisi dan metabolic
Kebiasaan klien dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum sakit sampai saat sakit (saat ini) yang
meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, frekuensi makanan, porsi
makan yang di habiskan, makanan selingan, makanan yang di sukai, alergi makanan
dan mamakan pantangan. Keluhan yang berhubungan dengan nutrisi seperti mual,
muntah, dan kesulitan menelan, di buatkan deskripsi singkat dan jelas. Bila di
perlukan, lakukan pengkajian terhadap pengetahuan klien/keluarga tentang diet
yang harus di ikuti serta bila ada larangan adat atau agamapada suatu makanan
tertentu.
3.
Pola eliminasi
Kaji eliminasi alvi
(buang air besar) dan eliminasi urin (buang air kecil) Pola eliminasi
menggambarkan keadaan eliminasi klien sebelum sakit sampai saat sakit (saat
ini), yang meliputi : frekuensi, konsistensi, warna, bau, adanya darah, dan
lain-lain. Bila di temukan adanya keluhan pada eliminasi, hendaknya dibuatkan
deskripsi singkat dan jelas tentang keluhan yang di maksud.
4. Pola aktivitas dan latihan
Kaji aktifitas rutin
yang dilakukan klien sebelum sakit sampai saat sakit mulai dari bangun tidur
sampai tidur kembali, termasuk penggunaan waktu senggang. Mobilitas selama
sakit di lihat dan aktivitas perawatan diri, seperti makan-minum, mandi,
toileting, berpakaian, berhias, dan penggunaan instrumen.
5. Pola tidur dan istirahat
Kaji kualitas dan
kuantitas istrahat tidur klien sejak sebelum sakit sampai saat sakity (saat
ini), meliputi jumlah tidur siang dan malam, penggunaan alat pengantar tidur,
perasaan klien sewaktu bangun tidur, dan kesulitan atau masalah tidur : sulit
jatuh tidur, sulit tidur lama, tidak bugar saat bangun, terbangun dini, atau
tidak bisa melanjutkan tidur.
6. Pola hubungan dan peran
Kaji hubungan klien
dengan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya, perawat, dan tim kesehatan
yang lain, termasuk juga pola komunikasi yang di gunakan klien dalam
berhubungan dengan orang lain.
7. Pola sensori dan kognitif
Kaji kemampuan klien
berkomunikasi (berbicara dan mengerti pembicaraan) status mental dan orientasi,
kemampuan pengindraan yang meliputi indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
perabaan dan pengecapan.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Kaji pada klien yang
sudah dapat mengungkapkan perasaan yang berhubungan dengan kesadaran akan
dirinya meliputi : gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan
identitas diri.
9. Pola reproduksi dan seksual
Kaji pada usia 0-12 tahun di isi sesuai dengan
tugas perkembangan psikoseksual. Usia remaja-dewasa-lansia dikaji berdasarkan
jenis kelamin.
10. Pola peran-berhubungan
Kaji hubungan klien
dengan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya, perawat, dan tim kesehatan,
termasuk juga pola komunikasi yang digunakan klien dalam berhubungan dengan
orang lain.
11. Pola mekanisme koping
Kaji mekanisme koping
yang biasanya dilakukan klien ketika menghadapi masalah/ konflik/ stres/ kecemasa.
12. Pola nilai dan kepercayaan
Kaji nilai-nilai dan
keyakinan klien terhadap sesuatu dan menjadi strategi yang amat kuat sehingga
mempengaruhi gaya hidup klien, dan berdampak pada kesehatan klien.
3.2
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum, tingkat kesadaran, GCS, TTV, dan
pemeriksaan persistem.
1.
khususnya pemeriksaan gastrointestinal,
termasuk bising usus, peristaltik dan sistem integumen sekitar anus.
2.
Sistem integumen / kulit
3.
Muskuluskletal
4.
Respirasi
5.
Kardiovaskuler
6.
Perkemihan
7.
Persyarafan
8.
Fungsi sensorik ) penglihatan, pendengaran,
pengecapan dan penciuman)
Dilanjutkan dengan memeriksa bagian perut
dimulai dengan :
a.
Mulut: Pengkajian meliputi inspaeksi gigi,
lidah, dan gusi klien. Gigi yang buruk atau struktur gigi yang buruk
mempengaruhi kemampuan mengunyah, sehingga berpengaruh pada proses defekasi.
b.
Abdomen :
1)
Inspeksi : memriksa adanya masa, gelombang
peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh darah vena, dan stoma.
2)
Auskultasi : bising usus normal terjadi 5-15
detik dan berlangsung ½ sampai beberapa detik.
3)
Palpasi : Untuk melihat adanya massa atau area
nyeri tekan.
4)
Perkusi : Mendeteksi cairan atau gas di dalam
abdomen.
c.
Rektum : Menginspeksi daerah di sekitar anus
dan mempalpasi untuk memeriksa rectum.
3.3
Pemeriksaan Penunjang
a.
Anuskopi.
b.
Prosktosigmoidoskopi.
3.2
Diagnosa Keperawatan
1.
Inkontinensia defekasi b.d penurunan kontrol sfingter volunter.
2.
Harga diri rendah b.d rasa malu tentang inkontinensia di depan orang lain.
3.
Kerusakan integritas kutit b.d inkontinensia
fekal.
4.
Resiko ketidakseimbangan cairan b.d output berlebihan.
3.3
Intervensi
1.
Inkontinensia defekasi
|
NOC
|
NIC
|
DEFINISI:
perubahan pada kebiasaan defekasi normal yang dikarakteristikkan
dengan pasase fases involunter.
Batasan
kerakteristik
1.
Rembesan
konstan feses lunak
2.
Bau fekal
3.
Warna fekal
ditempat tidur
4.
Warna fekal
pada pakaian
5.
Ketidakmampuan
menunda defekasi
6.
Ketidak
mampuan untuk mengendali doronga defekasi
7.
Tidak
perhatian trhadap dorongan defekasi
8.
Mengenal
fekal penuh tetapi menyatakan tidak mampu mengeluarkan fases padat
9.
Kulit
perianal kemerahan
10. Menyatakan sendiri ketidak mampuan mengenali kepenuhan rectal
11. Dorongan
Faktor
yang berhubungan:
1.
Tekanan
abdomen abnormal tinggi
2.
Tekanan usus
abnormal tinggi
3.
Diare kronik
4.
Lesi
kolorektal
5.
Kebiasaan
diet
6.
Faktor
lingkungan (mis,, tidak dapat mengakses kamar mandi)
7.
Penurunan
umum tonus otot
8.
Imabilitas,
impaksi
9.
Gangguan
kapasitas reservoir
10. Pengosongan usus tidak tuntas
11. Penyalahgunaan laksatif
12. Penurunan control sfingter rectal
13. Kerusakan sarAfmonorik bawah
14. Medikasi
15. Abdormalitas sfingter rektal
|
1.
Bowel
continence
2.
Bowel
elimination
Kristeria
hasil:
1. BAB teratur,mulai dari setiap hari sampai 3 – 5
2. Defekasi lunak,fases berbentuk
3. Penurunan insiden inkontinensia usus
4. Perawatan diri toileting
5. Perawatan diri ostonomi
6. Perawatan diri: hygien
7. Fungsi gastrointestinal adekuat
8. Pengetahuan tentang perawatan ostomi
9. Status nutrisi makanan dan minuman adekuat.
10. Integritas jaringan kulit dan membrane mukosa baik
|
Bowel
inkontinrnce care
1.
Perkirakan
penyebab fisik danpsikologi dari inkontimemsia fekal
2.
Jelaskan penyebab maslah dan rasional dari
tindakan
3.
Jelaskan
tujuan dari menagemen bowel pada pasien / keluarga
4.
Diskusikan
presedur dan criteria hasil yang harapkan bersama pasien
5.
Instruksikan
pasien/ kekuranga untuk mencetat keluaranfeses
6.
Cuci area
perianal dengan sebum dan air lalu keringkan
7.
Jaga
kebersihan baju dan empat tidur
8.
Lakukan
program latihan BAB
9.
Monitor efek samping pengobatan.
10. Bowel training
11. Rencanakan program BAB dengan pasein dan pasein yang lain
12. Konsul ke dokter jika pasein memerlukan suppositoria
13. Ajarkan ke pasein/ keluarga tentang prinsip latihan BAB
14. Ajurkan psein untuk cukup minum
15. Dorongan pasein untuk cukup latihan
16. Jaga privasi klien
17. Kalaborasi pemberian suppositoria jika memungkinkan
18. Evaluasi status BAB secara rutin
19. Modifikasi program BAB jika diperluka
|
2.
Harga diri rendah situasional.
|
NOC
|
NIC
|
Harga
dii rendah situasional
Definisi:
perkembangan persepsi negative tentang harga diri sebagia respons
tentang situasi saat ini (sebutkan)
batasan
kerakteristik
1.
evaluasi diri
bahwa individu tidak mampu menghadapi peristiwa
2.
evaluasi diri
bahwa individu tidak mampu menghadapi situasi`
3.
perilaku
bimbang
4.
perilaku
tidak asertif
5.
secara verbal
melaporkan tentang situasional saat ini terhadap harga diri
6.
ekspresi
ketidak bergunaan
7.
espresi ketidak
berdayaan
8.
verbalisasi
meniadakan diri
faktor yang berhubungan
1. perilaku tidak selers dengan nilai.
2. perubahan perkembangan.
3. gangguan citra tubuh
4. kegagalan
5. gangguan fungsional
6. kurang penghargaan
7. kehilangan
8. penolakan
9. perubahan perah social
|
1. body image, disiturbed
2. coping, ineffective
3. personal identity, disturbed
4. health behavior, risk
5. self esteem situasinal, low
kristerial
hasil:
1.
adaptasi
terhadap ketunandayaan fisik: respon adaptif klen terhadap tantangan fusional
penting akibat ketunandayaan fisik
2.
resolusi
berduka: penyesuian dengan kehilangan actual atau kehilangan akan terjadi
3.
penyesuaian prikososial: perubahan hidup
:respon psikososial adaptive individu terhadap perubahan dalam hidup
4.
Menunjukan
penilaian pribadi tentang harga diri
5.
Menggungkapkan
penerimaan diri
6.
Komunikasi
terbuka
7.
Mengatakan
optimism tentang masa depan
8.
Menghadapi
stretegi koping efektif
|
Self
esteem enhancement
1. Dorong
pasien mengidentifikasi kekuatan diri
2. Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalu bermain peran, model
peram, diskusi
3. Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan
4. Buat statement postif terhadap pasien
5. Monitor frekuensi kemunikasi verbal pasien yang negative
6. Dukung pasien untuk menerima tantangan bar
7. Kaji alas an-alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri
sendiri
8. Kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas social, perawatan spesialis klinis, dan layanan
keagamaan)
Body
image enhancement souseling
Ø Menggunakan proses pertoiongan interakltif yangberfokus pada kebutuhan,masalah,atau perasaan
passion dan orang terdekat untuk meningkatkan atau mendukung koping,
pemecahan masalah
Coping
enhancement
|
3.
Kerusakan intergritas
kulit
|
NOC
|
NIC
|
Definisi
: perubahan/gangguan,epidermis dan/atau demis
Batasan karakteristik:
1. kerusakan
lapisa kulit(dermis)
2. Gangguan permukaan kulit (epidermis)
3. Invasi struktur tubuh
Faktor
yang berhubungan :
4. Eksternal :
- zat kimia,radiasi
- usia yang ekstrim
- kelembapan
-
hipertermia,hipotermia
- Faktor
mekanik(mis.gaya gunting
(shearing forces)
- Medikasi
- Imobilitas fisik
*
Internal
-perubahan
status cairan
-perubahan pigmentasi
-perubahan turgor
-faktor perkembangan
Kondisi ketidak
seimbangan nutrisi
- penurunan imunologis
- penurunan sirkulasi
- Kondisi gangguan
metabolik
-Gangguan sensasi
-Tonjolan tulang
|
1. Tissue Intergrity: Skin and Murcous Mebranes
2. Hemodyalis akses
Kriteria
Hasil :
3. Intergritas kulit yang baik bisa dipertahankan(sensasi,
elastisitas,tempratur,
hidrasi,pigmentasi
)
4. Tidak ada luka/lesi pada kulit
5. Perfusi jaringan baik
6. Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya sedera berulang
Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami
|
Pressure
Management :
1.
Anjurkan
pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.
2.
Hindari
kerutan pada tempat tidur.
3.
Jaga
kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.
4.
Mobilisasi
pasien(ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali.
5.
Monitor kulit
akan adanya kemerahan.
6.
Oleskan
lotion atau minyak/baby oil pada darah yang tertekan.
7.
Monitor
aktivitas dan mobilisasi pasien.
8.
Memandikan
pasien dengan sabun dan air hangat.
Insision
site care
1.
membersihkan
memantau dan pada luka yang meningkatkan proses penyembuhan luka yang ditutup
dengan jahitan,klip atau strapless.
2.
monitor
proses kesembuhan area insisi.
3.
Monitor tanda
dan gejala infeksi pada area insisi.
4.
Bersihkan
area sekitar jahitan atau straples,menggunakan lidi kapas steril .
5.
gunakan
preparat antiseptic,sesuai program.
6.
ganti balutan
pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak
dibalut)sesuai program.
Dialysis
Acces Maintenance
|
4.
Resiko ketidakseimbangan eletrolit
|
NOC
|
NIC
|
Definisi:Berisiko mengalami
perubahan kadar elektrolit serum yang dapat mengganggu kesehatan
Faktor
risiko
1. Defesiensi volume cairan
2. Diare
3. Disfungsi endokrin
4. Kelebihan volume cairan
5. Gangguan mekanisme regulasi (mis. diabetes, isipidus,
sindrom,
ketidaktepatan sekresi hormon antidiuretik)
6. Disfungsi ginjal
7. Efek samping obat
(mis.
medikasi drain)
8. Muntah
|
1.
Fluid balance
2.
Hydration
3.
Nutritional
Status: Food and Fluid intake
Kriteria
Hasil:
1.
Mempertahankan
urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ, urine normal, HT normal.
2.
Tekanan
darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
3.
Tidak ada
tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, mebran mukosa lembab, tidak
ada rasa haus yang berlebihan
|
Fluid
management
1.
timbang popok/pembalut jika diperlukan.
2.
Pertahankan
catatan intake dan output yang akurat.
3.
Monitor
status hidrasi (kelembaban membran mukos, nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik) jika diperlukan.
4.
Monitor vital sign.
5.
Monitor masukan makanan/cairandan hitung intake
kalori harian.
6.
kolaborasi pemberian
cairan IV.
7.
Monitor
status nutrisi.
8.
berikan
cairan IV pada suhu ruangan.
9.
Dorong
masukan oral.
10.
Beriakn
penggantian nesogatrik sesuai output.
11.
Dorong
keluarga untuk membantu pasien makan.
12.
Tawarkan
snack 9jus buah, buah segar).
13.
Kolaborasi
dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk.
14.
Atur
kemungkinan tranfusi.
15.
Persiapan
untuk tranfusi Hypovolemia Management.
16.
Monitor
status cairan termasuk intake dan output cairan.
17.
Pelihara IV
line.
18.
Monitor
tingkat Hb dan hematocrit.
19.
Monitor tanda
vital.
20.
Monitor respon
pasien terhadap penambahan cairan.
21.
Monitor berat
badan.
22.
Dorong pasien
untuk menambah intake oral.
23.
Pemberian
cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan.
24.
Monitor
adanya tanda gagal ginjal
|
3.4
Implementasi
Keberhasilan
Intervensi Keperawatan bergantung pada upaya meningkatkan pengetahuan klien dan
keluarga tentang eliminasi fekal. Di rumah, di rumah sakit, atau di fasilitas
perawatan jangka panjang, klien yang mampu belajar dapat di ajarkan tentang
kebiasaan defekasi yang efektif. Perawat harus mengajarkan klien dan keluarga
tentang diet yang benar, asupan cairan yang adekuat, dan factor-faktor yang
menstimulasi atau memperlambat peristalstik, seperti stress emosional.
3.5
Evaluasi
Keefektifan
perawatan bergantung pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir
yang diharapkan dari perawatan secara optimal klien akan mampu mengeluarkan
feses yang lunak secara teratur tanpa merasa nyeri. Klien juga akan memperoleh
informasi yang dibutuhkan untuk menetapkan pola eliminasi normal dan untuk
medemonstrasikan keberhasilan yang berkelanjutan, yang di ukur berdasarkan
interval waktu tertentu dalam suatu periode yang panjang. Klien akan mampu
melakukan defekasi secara normal dengan memanipilasi komponen-komponen alamiah
dalam kehidupan sehari-hari seperti diet, asupan cairan dan olahraga.
Ketergantungan klien pada tindakan bantuan untuk membantu defekasi seperti
enema dan penggunaan laksatif, menjadi minimal. Klien akan merasa nyaman dengan
protocol ostomi dan mengidentifikasi protocol tersebut sebagai sesuatu yang
dapat dipraktikkan secara pasti.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Eliminasi
fecal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme tubuh yang tidak
terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk
fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada
gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus adalah
racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari
sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi
jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air dan 25% materi padat.
Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin yang berasal
dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteri Escherecia coli. Flatus yang dikelurkan
orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 liter flatus dalam usus besar. Kerja
mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan
beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al., 2009).
Inkontinensia
fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien
geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan
pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri
menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga
mengalami inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat
mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya
dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian
inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula
peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan penanganan
yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar
tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien.
4.2
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1.
Pada Perawat
Agar meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan
Asuhan Keperawatan pada klien dengan Inkontinensia Fekal dan meningkatkan
pengetahuan dengan membaca buku-buku dan mengikuti
seminar serta menindaklanjuti masalah yang belum teratasi.
2.
Pada Mahasiswa
Diharapkan dapat melaksanakan tehknik
komunikasi terapeutik dan melakukan pengkajian agar kualitas pengumpulan data
dapat lebih baik sehingga dapat melaksanakan Asuhan
Keperawatan dengan baik.
3.
Pada Klien dan Keluarga
Diharapkan klien dapat melaksanakan anjuran dan penatalaksanaan pengobatan dan diet yang telah diinstruksikan leh perawat dan dokter.
Diharapkan klien dapat melaksanakan anjuran dan penatalaksanaan pengobatan dan diet yang telah diinstruksikan leh perawat dan dokter.
DAFTAR PUSTAKA
Wilkinson Judith M, Ahern Nancy R.
Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Edisi 9.
2011.
Huda A.N, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA.MediAction Publishing. Edisi Revisi Jilid 1. 2013.
Huda A.N, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA.MediAction Publishing. Edisi Revisi Jilid 2. 2013.
BetMGM Casino Review (2021) - Dr.MD
BalasHapusBetMGM Casino Mobile · BetMGM Casino has a good 오산 출장안마 reputation for offering a great 김포 출장샵 welcome 익산 출장샵 bonus 보령 출장샵 and a range of games. · 파주 출장샵 It offers both real money and